SARJANA MASIH PUNYA PE-ER……..
SARJANA MASIH PUNYA PE-ER……..-alhafizyunas.blogspot.com --> Sabtu, 1 Desember 2012, UIN Suska Riau akan me...
SARJANA MASIH PUNYA PE-ER……..-alhafizyunas.blogspot.com
Sabtu, 1 Desember 2012, UIN Suska Riau akan mewisuda 964 sarjana
dari delapan fakultas dan berbagai jurusan. Persaingan dalam mencari dunia
kerja kemungkinan besar bertambah. Ada sarjana yang punya bayangan pekerjaan
yang akan dilakukan, ada juga yang masih menerawang kira-kira dapat kerja di
mana.
Raeda Tami
misalnya, lulusan Pendidikan Bahasa Arab UIN Suska. Ketika kuliah, dia sering
menerima jasa servis komputer dan
menjahit sebagai pekerjaan sampingan. Dengan modal pengalaman itu nantinya Raeda
berkeinginan jadi wirausaha. Ia membuka
sebuah butik atau menerima jasa servis komputer usai tamat nanti.
Kendala klasik jadi
soal, ketiadaan modal. Sepertinya rencana itu tak bisa berlangsung secepatnya. “Ngak ada modal, mau gimana lagi, ”ujarnya.
Tapi kini ia diterima sebagai dosen kontrak Bahasa Arab di Pusat Bahasa UIN
Suska Riau. Sehingga usai wisuda ia tak begitu risau.
Adi salah satu
alumni UIN Suska berbagi cerita. Suatu hari ia tiba di depan Bank Finance
Indonesia (BFI) di Pekanbaru. Ia sudah berpakaian rapi, sebentar lagi akan
ujian psikotes. Bermodal ijazah S1 Administrasi Negara, ia mencoba melamar
pekerjaan menjadi staff administrasi.
Meski sudah
mengantongi ijazah, dirinya tetap harus ikut tes. Ini kebijakan perusahaan.
Semua syarat dan ujian sudah selesai. Tinggal nunggu pengumuman. Namun rasa
kecewa harus diterima. Ia belum diterima.
Sulitnya sarjana S1
mendapatkan pekerjaan disebabkan juga daya serap tenaga kerja dari perusahaan
kurang. Dan ini terjadi hampir merata kepada seluruh alumnus berbagai perguruan
tinggi di Indonesia.
Dari data Badan Pusat
Statistik (BPS) di situs resminya, mencatat sarjana hanya menyumbang 5,91
persen yang bekerja. Sedangkan tamatan menengah 9,60 persen. Tamatan Sekolah
Dasar (SD) hanya 3,64 persen dari total jumlah pengangguran berdasarkan level
pendidikan.
Undang-Undang Nomor
8 tahun 1961, tertera soal kewajiban bagi sarjana untuk bekerja, sebagai bentuk
pengabdian dalam pembangunan Indonesia. Undang-undang yang terdiri dari 9 pasal
ini menjelaskan tentang kebutuhan negara terhadap para sarjana cukup besar. Para
wisudawan yang memiliki spesifik keilmuan, diharapkan menjadi manusia unggulan.
Kata Asisten Deputi Bidang Kepeloporan
Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Muh Abud Musa'ad, di Republika co.id Jumlah pengangguran
terdidik terbanyak adalah lulusan perguruan tinggi yaitu 12,78 persen. Pada
berita berjudul Kemenpora:
Pengangguran Terdidik Capai 47,81 Persen itu lulusan SMA menyusul
dengan 11,9 persen, SMK 11,87 persen, SMP 7,45 persen, dan SD 3,81 persen pada
2012.
Perbedaan data ini
disebabkan karena data yang diperoleh BPS merupakan informasi pengangguran
terbuka atau pengangguran yang benar-benar tidak mempunyai pekerjaan. Jika
pengertian pengangguran diperluas, masih banyak jenis yang tidak termasuk dalam
data ini. Misalnya pengangguran terselubung dan pekerja outsourching yang bermasalah dengan gaji.
Banyak faktor penyebabkan
sulitnya sarjana mendapatkan pekerjaan. Salah satunya daya serap tenaga kerja
yang tidak sebanding dengan jumlah lulusan. Selain itu, saat ini alumnus juga dituntut
untuk memiliki skill pendukung. Sebagai modal untuk bersaing di dunia kerja.
Dalam
kata sambutannya ketika pembukaan Job Fair di Uin Suska Riau, Walikota
Pekanbaru, Firdaus menghimbau mahasiswa agar tidak hanya fokus pada persoalan akademik saja
saat kuliah. “Harus aktif menambah pengalaman dari berbagai ekstrakurikuler di
luar itu,” pesannya Selasa, (20/11).
Di situs tempo.co ada berita yang menarik.
Judulnya SD Jadi Pengusaha, Sarjana Jadi Pekerja. Dituliskan ketergantungan
sarjana terhadap dunia kerja turut menyebabkan tingginya angka pengangguran terdidik.
Lulusan universitas kalah telak dari tamatan SD dalam hal menjadi seorang
pengusaha. Lulusan SD dan menengah pertama menyumbang 32, 46 persen dari total
pengusaha berdasarkan tingkat pendidikan. Info tersebut di dapat dari data Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Indonesia.
"Kesannya
ketika makin tinggi (tingkat pendidikannya), orang malas jadi pengusaha UKM
karena di bayangannya mereka ingin jadi karyawan," ujar Taty Ariati, Deputi
Pengembangan Kewirausahaan Kementerian Koperasi di tempo.co.
Menurut
Taty, kurikulum pendidikan sekarang lebih cenderung mendorong seseorang
berminat untuk bekerja pada perusahaan atau kantoran daripada bekerja sebagai
wirausaha.
Di tuliskan lagi, sekolah
tidak lebih banyak mengajarkan keterampilan bagi peserta didik, sehingga cakap
dalam persaingan usaha. Hal itu semakin kuat karena hingga kini budaya sebagian
masyarakat Indonesia, orang tua, masih berharap anak-anaknya dapat menjadi
karyawan sebuah perusahaan ketimbang membuka usaha sendiri.
Kualifikasi ilmu
yang lebih spesifik yang sarjana miliki menjadi bumerang ketika itu punya daya
serap tenaga kerja yang sedikit. Kini sarjana bidang kesehatan menjadi yang
paling banyak dibutuhkan tenaganya.
Selain
itu alasan perusahaan ogah merekrut sarjana karena tuntutan gaji yang
tinggi. Perusahaan-perusahaan juga mengeluhkan sulitnya mendapatkan seorang
yang sarjana yang qualified dengan kualifikasi
ilmu yang ia miliki. Seperti yang di rasakan Ilham Fauzi, Direktur PT
Electrical Centre Pekanbaru.
Ia mengatakan sebulan yang lalu perusahaannya memasang
iklan di media massa mencari sarjana Teknik Elektro. Namun dirinya kesulitan
mendapatkan pelamar yang sesuai kriteria. “itu saya alami, susahnya mencari
mahasiswa yang siap pakai. Ini kenyataan, bahkan ada yang melamar, namun
kemampuannya masih hebat anak STM (Sekolah Teknik Mesin),” ujarnya dikantor
Jum’at (16/11).
Hal seperti itu
yang harus dipikirkan. Ia katakan mahasiswa jangan lagi hanya fokus mengejar
ijazah. “Kalau nantinya memulai dari nol
lagi. Jadi buat apa kita menghabiskan umur dan waktu untuk sekedar mengambil
ijazah,”tuturnya.
UIN Suska Riau sendiri telah mencoba melakukan metode ini. Munzir Hitami,
Pembantu Rektor I Bidang Akademik, telah menjalin kerja sama dengan Internasional
Islamic Finance. Lembaga yang bergerak di
bidang pembekalan wirausaha. “Kampus kita sudah bekerja sama sejak tahun lalu,” ujarnya.
Dalam
perkembangannya, kerja sama ini dirasa masih kurang efektif. Karena terkendala
dalam pemanfaatan fasilitas. Dan paling mendasar adalah kendala kemampuan
berbahasa asing.
Bagi
Munzir, skill bahasa asing sebagai
modal untuk memudahkan mencari pekerjaan yang sesuai. Jika bekal itu tidak
ada,tentunya membuat mencari pekerjaan lebih sulit.
Ia
menambahkan UIN Suska tengah bergiat
mengembangkan kurikulum dan pelaksanaan Test
of English as A Foreign Language (TOEFL) dan Test of Arabic as A Foreign Language TOAFL, sebagai syarat kelulusan.
Munzir
mengharapkan mahasiswa memanfaatkan program-program yang telah difasilitasi
pihak kampus. Serta giat mengejar kesempatan-kesempatan yang ada. “Sekarang
inisiatif dari mahasiswa yang dituntut,” ujarnya.
UIN
Suska juga memberikan kesempatan kepada alumni. Dengan membuka lowongan kerja
dan mengabdi di universitas ini. Mahasiswa peraih cumlaude, bisa langsung direkrut sebagai dosen. “Namun mahasiswa
tersebut juga harus melewati proses seperti calon-calon dosen lainnya,”
jelasnya.
Hal ini dapat
menggambarkan kurikulum di universitas perlu memperhatikan prospek didikannya
menuju dunia kerja. Pihak universitas juga bisa menekan angka pengangguran terdidik
dengan kerja sama dengan pihak industri dan lingkungan kerja.
Ada
yang beranggapan tak sarjana maka susah cari kerja. Namun ijazah tanpa diiringi
keahlian di bidangnya, bagai burung patah sayap sebelah. Pekerjaan idaman bakal
jauh dari jangkauan. Jangan sampai ketika penyematan toga kepala tegak, saat
melamar kerja wajah muram tertunduk menatap map di tangan.Selamat Wisuda.
Pekanbaru,30 November 2012
Kecap Asin
Editor :Red. Gagasan Uin Suska Riau
Post a Comment: